Secara
umum, data yang dipublikasikan tentang ketersediaan tanah serta yang telah
digunakan saat ini tidak akurat dan tidak konsisten. Demikian pula dengan data
tentang potensi tanah yang dapat menjadi areal untuk pertanian.
Menurut
data di Badan Pertanhan Nasional (Kepala BPN, 2001), berdasarkan zone ekonomi
eksklusif, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini
sebagian terbesar yaitu 609 juta ha (76%) merupakan perairan dan sisanya 191
juta ha (24%) berupa daratan. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas
daratan Indonesia lebih rendah sedikit dari itu, yaitu hanya 188,2 juta ha.
Dalam
konteks usaha budidaya, maka salah satu aspek yang harus dijadikan landasan
adalah batasan minimal yang harus tetap menjadi areal konservasi, untuk menjaga
daya dukung lahan dan prinisp sustainabilitas ekosistem pada umumnya. Maka, sesuai
dengan kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191
juta ha daratan, 67 juta ha (35%) harus digunakan sebagai kawasan lindung dan
sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal budidaya (Tabel 1). Sesuai dengan fungsinya dan
kepatutan penggunaannya, maka kawasan lindung mestilah berupa hutan, sedangkan
kawasan budidaya dapat digunakan untuk penggunaan non-hutan, yaitu untuk pertanian
dan non-pertanian (perumahan, industri, dan lain-lain).
Namun,
hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa kawasan lindung yang seharusnya
berupa hutan tidak seluruhnya berupa hutan. Dari 67 juta ha kawasan lindung, 12
juta ha (18%) telah digunakan berupa bukan hutan terutama di Wilayah Jawa dan
Bali. Sebaliknya pada kawasan budidaya, 71 juta ha (58%) masih berupa hutan,
terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Wilayah inilah yang
dapat dijadikan areal pertanian.
Tabel 1. Neraca Penggunaan Tanah di Indonesia, Tahun
2001
Wilayah
|
Tata ruang
|
Jumlah
(ha)
|
Penggunaan Tanah
(ha)
|
||||
Kaw. Budidaya
|
Kaw. Lindung
|
Kaw Budidaya
|
Kaw Lindung
|
||||
Hutan
|
Non hutan
|
Hutan
|
Non hutan
|
||||
Sumatera
|
30,4
|
16,9
|
47,3
|
15,8
|
14,6
|
11,0
|
5,9
|
Jawa dan bali
|
10,9
|
2,4
|
13,3
|
1,6
|
9,3
|
1,1
|
1,3
|
Kalimantan
|
38,8
|
15,0
|
53,8
|
27,4
|
11,4
|
13,1
|
1,9
|
Sulawesi
|
11,1
|
8,5
|
19,6
|
4,9
|
6,2
|
7,7
|
0,8
|
Nusa tenggara dan maluku
|
8,7
|
6,6
|
15,3
|
4,8
|
3,9
|
5,4
|
1,239.280
|
Irian jaya
|
23,6
|
17,9
|
41,5
|
16,8
|
6,8
|
16,7
|
1,2
|
Jumlah
|
123,4
|
67,5
|
190,9
|
71,3
|
52,2
|
55,0
|
12,4
|
Persentase
|
64,65
|
35,35
|
|
57,74
|
42,26
|
81,56
|
18,44
|
Sumber: Kepala BPN (2001)
Salah satu informasi dasar
yang dibutuhkan untuk pengembangan pertanian adalah data spasial (peta) potensi
sumberdaya lahan, yang memberikan informasi penting tentang distribusi, luasan,
tingkat kesesuaian lahan, faktor pembatas, dan alternatif teknologi yang dapat
diterapkan. Namun, hingga saat ini, informasi sumberdaya lahan tersebut belum
tersedia secara menyeluruh pada skala yang memadai. Sebagai contoh, informasi
sumberdaya lahan yang tersedia di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat (Puslitbangtanak) Badan Litbang Pertanian hanya peta pada skala
eksplorasi (1:1.000.000), sedangkan data/peta pada skala tinjau (1:250.000)
baru sekitar 57 persen dari total wilayah Indonesia, dan peta pada skala semi
detil hingga detil (1:50.000 atau lebih besar) hanya sekitar 13 persen dari
total wilayah. Peta pada skala eksplorasi (1:1.000.000) hanya sesuai digunakan
sebagai acuan untuk perencanaan atau arahan pengembangan komoditas secara
nasional. Sedangkan untuk tujuan operasional pengembangan pertanian di tingkat
kabupaten/kecamatan, diperlukan peta sumberdaya lahan pada skala 1:50.000 atau
lebih besar.
Berbeda dengan data BPN, menurut Puslitbangtanak (2002), berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk pertanian bukan 123,4 namun hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif sama dengan dokuemn RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan pertanian adalah seluas 100,8 juta ha.
Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai
untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman
semusim; dan 50,9 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Jika
dihubungkan dengan kebutuhan lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal seluas
24,5 juta ha sudah memadai untuk berswasembada, karena yang diperlukan lebih
kurang hanya 10 juta ha, apalagi jika teknologi usahatani dapat diperbaiki.
Untuk kondisi penggunaan atau tata guna lahan saat ini, ditemui
data yang beragam. Menurut Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha lahan yang
sesuai untuk lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya sudah digunakan untuk lahan
sawah. Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan
sawah baku saat tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha.
Data lebih jauh pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa total areal pertanian di Indonesia
saat ini adalah 36,3 juta ha, mencakup mulai dari sawah, tegalan, pekarangan,
maupun perkebunan (rakyat dan swasta besar). Jika disandingkan dengan kawasan
yang dapat dijadikan sebagai pertanian (123,4 juta ha), maka masih ada 87,1
juta ha yang areal yang saat ini belum dijadikan wilayah pertanian.
Tabel
2. Komposisi tata guna tanah di
Indonesia, tahun 2001 (dalam juta ha).
Wilayah
|
Luas Sawah1)
|
Luas lahan kering1)
|
Total areal pertanian
|
Kawasan yang dapat untuk pertanian
|
Areal yang tersisa untuk pertanian
|
Sumatera
|
2,3
|
12,9
|
15,2
|
30,4
|
15,2
|
Jawa dan bali
|
3,4
|
4,3
|
7,7
|
10,9
|
3,2
|
Kalimantan
|
1,0
|
3,6
|
4,6
|
38,8
|
34,2
|
Sulawesi
|
0,7
|
2,9
|
3,6
|
11,1
|
7,5
|
Nusa tenggara dan maluku
|
0,3
|
1,9
|
2,2
|
8,7
|
6,5
|
Irian jaya
|
0,02
|
3,0
|
3,02
|
23,6
|
20,58
|
Indonesia
|
7,8
|
28,5
|
36,3
|
123,4
|
87,1
|
Keterangan:
1) bersumber dari Rekapitulasi dari Kantor BPN se Indonesia (BPN, 2001)
Menurut sebagian kalangan, ada potensi sekitar 16 juta ha lahan yang sesuai untuk sawah, yang terdiri dari 3,5 juta ha lahan rawa dan 12,5 juta ha lahan non rawa. Lahan non rawa yang berpotensi dijadikan sawah tersebar di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Di pulau Jawa, lahan yang sesuai tersebut kebanyakan sudah digunakan untuk keperluan lain sehingga hampir tidak mungkin melakukan ekstensifikasi sawah di pulau Jawa. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas lahan yang sesuai untuk perluasan lahan sawah (berdasarkan peta skala 1:1.000.000) tersedia sekitar 16 juta ha, dengan sebaran paling luas di Papua, Sumatra, dan Kalimantan. Pada umumnya lahan basah tersebut merupakan lahan rawa (pasang surut dan lebak).
Lebih jauh dalam dokumen RPPK terbaca, bahwa lahan yang potensial untuk
perluasan areal tanaman pangan sudah
tidak tersedia (potensi ekstensifikasi negatif), karena sudah digunakan untuk
tegalan, perkebunan, dan sebagian lagi berupa lahan terlantar. Dengan demikian, pengembangan areal tanaman pangan hanya
dapat dilakukan pada lahan terlantar. Lahan yang secara bio-fisik sesuai untuk
perluasan tanaman tahunan (buah-buahan, dan tanaman perkebunan) masih cukup
luas (25 juta ha). Lahan ini dapat dimanfaatkan untuk areal perkebunan rakyat mislanya
untuk komoditas kakao (Sulsel, Sulteng, Sultra), kelapa sawit (Riau, Sumatera
Selatan, Kalimantan, Papua), dan buah-buahan tropika. Sebagian lahan yang
berpotensi untuk tanaman tahunan tersebut berstatus tanah negara.
Dalam dokumen
tersebut juga didapati bahwa kita masih memiliki potensi lahan untuk pertanian
sebesar 100,8 juta hektar. Dari luasan ini, telah dimanfaatkan 68,8 juta
hektar, sehingga lahan yang belum dimanfaatkan sekitar 32 juta hektar. Selain itu,
terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta
hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar.
Khusus untuk Jawa, pemanfaatan
lahan sudah melampui ketersediaannya (over
utilization). Selain over utilization,
lahan di Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian
dengan laju yang makin tinggi. Pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi
lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.627.514 hektar; dan sekitar 1
juta hektar di antaranya terjadi di Jawa. Karena tingkat kesuburan lahan di
Jawa jauh lebih tinggi dibanding di luar Jawa dan kondisi infrastruktur yang juga
lebih mapan, maka dalam jangka panjang lahan-lahan produktif di Jawa seperti
lahan sawah tetap perlu dipertahankan sebagai lahan pertanian.
Kondisi lahan di Jawa semakin memprihatinkan
karena penguasaan lahan oleh petani yang sempit tidak mampu mencapai skala
usaha yang ekonomis, sehingga usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman
stagnasi. Luas areal yang masih berupa hutan di Jawa saat ini hanya bersisa 3,3
juta ha. Di sisi lain, terdapat lahan kritis yang sangat memprihatinkan, yaitu
10,7 juta ha atau 84,2 persen dari luas wilayahnya (Kompas, 2003).
Salah satu potensi yang sampat saat ini kurang
diperhatikan adalah keberadaan lahan rawa. Luas lahan rawa pasang surut di
Indonesia lebih dari 33,4 juta ha, yang tersebar dibanyak propinsi, namun yang
terbesar ada di wilayah Kalimantan (8,13 juta ha), Sumatera (6,6 juta ha),
Papua (4,2 juta ha), dan Sulawesi (1,2 juta ha). Dengan teknologi yang ada, petani telah mampu menghasilkan 3-4 ton padi per
ha. Namun dengan peningkatan teknologi, yaitu pada skala penelitian, telah
mampu dihasilkan 7-8 ton gabah per ha. Selain untuk padi sawah, lahan rawa juga sesuai untuk palawija yaitu jagung dan
kedelai. ******