Masa Orde Lama, yaitu mulai dari kemerdekaan sampai dengan tahun 1966,
merupakan masa tumbuhnya kebijakan agraria yang idealis. Pada masa ini berhasil
dihasilkan suatu produk hukum yang sangat fundamental yaitu Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) no. 5 tahun 1960. Selain itu juga berhasil disusun dan
diundangkan UU no. 56 tahun 1960 tentang landreform, serta UU no. 2 tahun 1960
tentang Bagi Hasil untuk pertanian dan UU 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil pada
usaha perikanan laut. Dengan lahirnya UUPA, artinya pemerintah memberi
perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan
pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan.
Kegiatan landreform yang ideal pernah berjalan setelah
kelahiran UUPA ini, namun kemudian gagal karena ditunggangi oleh muatan politik
(Partai Komunis Indonesia). Landreform, dalam arti
redistribusi tanah, mulai dilaksanakan sekitar tahun 1961, dan marak sampai
tahun 1965. Setelah itu, landreform tetap berjalan namun dalam kecepatan dan
luas yang sangat lambat.
Meskipun demikian, sampai dengan tahun 2000,
setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hektar
tanah obyek landreform sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga
petani yang tersebar di seluruh Indonesia (sumber: Deputi bidang Tata
Laksana Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN), dalam seminar Rethinking
Landreform in Indonesia. BPN, Land Law Initiative dan Rural Development
Institute, dan United States Agency for International Development (USAID).
Jakarta).
Pelaksanaan landreform di Indonesia mengalami
stagnasi, tersendat-sendat, dan tidak tuntas. Hambatan utama pelaksanaan
landreform adalah lemahnya kemauan politik dari pemerintahan Orde Baru yang
lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Program landreform dimulai setelah keluarnya
seperangkat peraturan perundang-undangan landreform, seperti Undang-Undang No 1
Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir, UU No 2/1960 tentang Bagi
Hasil, UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No 56/1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan Pemerintah (PP) No 224/1961
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, serta
perangkat peraturan lainnya. Penyebab utama kegagalan landreform adalah karena
rendahnya kemauan dan dukungan politik, tidak tersedianya biaya, data dan
informasi, serta lain sebagainya.
Pada periode 1945—1960 tumbuh
semangat untuk menata-ulang masalah pemilikan, penguasaaan dan penggunaan
tanah. Dilaksanakan uji coba landreform dengan skala terbatas. Berdasar UU No.
13/1946, dilangsungkan landreform di daerah Banyumas, serta UU Darurat No.
13/1948 untuk landreform di daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta. Pada periode
ini dihadapi situasi yang dilematis. Di satu pihak, gagasan awalnya bahwa
proyek utama reform itu adalah tanah-tanah perkebunan dengan hak erfpacht ,
tanah-tanah absentee, bekas tanah-tanah partikelir, dan tanah-tanah terlantar.
Tapi, sesuai perjanjian KMB, rakyat harus dikeluarkan dari tanah-tanah
perkebunan milik modal swasta Belanda.
Tahun 1957 akhirnya Indonesia membatalkan perjanjian KMB, dan tahun 1958
dilangsungkan proses nasionalisasi perkebunan-perkebunan besar milik asing,
serta melalui UU No. 1/1958 menghapuskan tanah-tanah partikelir.
Pada periode
demokrasi terpimpin (1960—1965), tidak banyak kemajuan. Sukarno menerapkan
kebijakan agraria (neo) populis, dimana land reform dijalankan melalui ”Paket
UU Landreform”. Dalam operasionalisasinya digunakan PP 224/1961 tentang
Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran
Tanah, serta UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.
*****