Petani seumur-umur jadi tukang sewa


Petani Menyewa ”Tanah Pemerintah” pada era Pemerintahan Kolonial

Dua kebijakan pokok yang dirasakan sangat berpengaruh besar - bahkan hingga saat ini - pada masa pemerintahan kolonial, adalah pengenaan pajak tanah dan mulai berlakunya sistem penyewaan tanah dalam jangka panjang (25 –30 tahun) yang dikenal dengan erfpacht atau tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU). Pemerintah kolonial bekerjasama dengan golongan elit feodal (para bupati). Pajak tanah dimulai ketika masa Gubernur Jenderal Raffles. Saat itu, seluruh tanah dianggap sebagai tanah desa, sehingga pemerintah desa menarik pajak tanah berupa natura dari penduduk.

   Lalu, pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agararia tahun 1870 (Agrarische Wet). Peraturan ini bersifat dualistis, dimana bagi orang asing berlaku hukum Barat, sedangkan bagi rakyat Indonesia berlaku hukum adat. UU ini menjamin kepemilikan pribumi atas hak-hak adat, serta memungkinkan penduduk untuk mendapatkan hak pribadi. Mulai saat itu, dimungkinkan untuk memiliki mutlak (hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Tujuan untuk melindungi dan memperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli, ternyata jauh dari harapan (Wiradi, 2000). Apalagi ditambah sikap para raja dan sultan baik di Jawa maupun di Luar Jawa yang lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing, dibanding memberikannya ke warga sendiri. Konflik pertanahan antara pihak swasta yang didukung pemerintah dengan masyarakat sudah mulai terjadi.

   Era berikutnya, dengan asumsi bahwa tanah adalah milik Belanda, pemerintah melakukan kebijakan sistem sewa tanah kepada petani (Fauzi, 1999: 28). Sistem sewa ini pada dasarnya agar dapat memberikan  kebebasan dan kepastian hukum serta merangsang untuk menanam tanaman dagang kepada petani, bukan benar-benar memberikan penguasaan lahan yang riel kepada petani.

   Jadi, dengan pola penguasaan disewa atau dengan pajak, masih bersifat sepihak yaitu untuk kepentingan diri Belanda belaka. Di era kerajaan maupun Belanda, kondisinya masih sama, petani tetaplah seorang penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasilnya kepada pihak penguasa.

   Secara ringkas, sebagaimana dikatakan Husken (1998), pemilik tanah yang jumlahnya sedikit namun menguasai tanah sangat luas dan berkuasa mengatur proses produksi. Mereka memiliki akses kuat ke dunia politik dan menguasai tanah sawah dan pengatur tenaga kerja, sementara para petani sesungguhnya, yang mengolah tanah, memelihara tanaman, mengatur air, dan memanennya;  hanyalah pengikut yang powerless. Saat ini masih dapat dijumpai di Jawa beberapa orang dalam satu jaringan keluarga besar yang memiliki tanah sawah luas, terutama pada lokasi basis tebu di Jawa Tengah dan Timur.

******