Bagaimana cara petani memperoleh tanah?


Pola Asal-Usul Petani Menguasai Tanah

Pola bagaimana petani memperoleh lahan, dapat memperjelas mengapa petani rendah aksesnya terhadap lahan sampai saat ini.
Di pedesaan Jawa, perolehan lahan dapat dibagi dalam empat bentuk yang antar lokasi mempunyai sebutan yang berbeda. Pertama, tanah pemberian raja atau Pemerintah Hindia Belanda.Tanah ini di Jawa Barat disebut dengan “tanah cacah” atau “tanah sikep”, di Klaten disebut “tanah sanggan”, dan di Jawa Timur disebut “tanah gogolan”. Di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada yang menyebutnya “tanah norowito”. Tanah jenis ini adalah tanah pemberian dari raja atau Pemerintah Hindia Belanda kepada warga masyarakat yang memiliki tenaga kerja laki-laki dengan kewajiban melaksanakan lakon gawe (Jawa Barat) atau songgo gawe (Klaten dan daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur), seperti gotong-royong, piket desa, menjaga keamanan desa (meronda), membayar pajak yang lebih besar dan berbagai iuran desa dan keagamaan.

Dua, tanah hasil pembukaan hutan oleh nenek moyang, atau oleh suatu komunitas dan keluarga. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut sebagai “tanah yasan”, sedangkan di Jawa Barat disebut “tanah iyasa”.

Tiga, tanah titisara (bondo desa), yaitu tanah yang menjadi kekayaan atau kas desa yang biasanya digarapkan pada anggota warga masyarakat yang kurang mampu dan sebagian penghasilannya masuk sebagai kas desa.  Pelaksanaan akhir-akhir ini di pedesaan Jawa dilaksanakan dengan cara dilelang, siapa yang berani menyewa dengan harga tertinggi merekalah yang berhak menggarap.

Terakhir, empat, Tanah bengkok atau lungguh untuk pamong yang sedang menjabat dan untuk biaya operasional pemerintahan desa. Setelah diberlakukannya UUPA, status tanah cacah dan iyasa dirubah menjadi hak milik perseorangan melalui SK Gubernur, yang efektif pada periode tahun 1970-an.   Sejak periode tersebut tanah cacah, songgogawe, gogolan, norowito dan sikep  dapat diperjual-belikan dan diwariskan kepada ahli warisnya.

Di Luar Jawa, secara umum asal usul penguasaan lahan merupakan hasil bukaan hutan.  Pada awalnya, membuka hutan dilakukan secara berkelompok bahkan keanggotannya bisa merupakan kelompok kesukuan, kelompok kekerabatan, maupun kelompok keluarga besar.  Baru pada tahap selanjutnya pembukaan bisa dilakukan secara  kelompok kekerabatan kecil, kelompok keluarga kecil, maupun individu.  Pembukaan hutan secara bertahap dan berkelompok tersebut memunculkan adanya berbagai macam kepemilikan lahan sebagaimana ditemukan di daerah Sumatera Barat dan Dayak yang memunculkan tanah ulayat secara bertingkat (Jamal et al., 2001). 

Khusus di DI Yogyakarta, dalam penelitian Jamal et al. (2001), penguasaan lahan oleh petani dimulai dengan program klassering (classering) yang dimulai tahun 1921 yang merupakan peristiwa penyerahan tanah “ kagungan dalem”  kepada rakyat, atau meningkatkan status hak atas tanah kepada rakyat dari penggarap menjadi tanah yang berstatus “ anganggo turun-temurun”.  Peristiwa ini kemudian diperkuat dengan Perda No.5 Tahun 1954, di mana Sultan menyerahkan tanahnya kepada rakyat sehingga menjadi tanah milik privat. Klasering secara teoritis merupakan suatu riel land reform, karena distribusi tanah kepada petani didasarkan prinsip “ land tillers”.  Pendistribusian tanah hanya ditujukan bagi petani penggarap dan pemilikan hanya sebatas yang mampu digarap oleh anggota keluarga yang bersangkutan, yang sangat terkait dengan aspek penataan lahan yaitu bagaimana lahan tersebut dapat dimanmaatkan secara optimal. 

Contoh lain, di komunitas suku Dayak, penelitian Rousseou (1977), seorang antropolog Canada, menyatakan bahwa corak penguasaan lahan orang Dayak Kanayan tidak mengenal hak milik individu yang dapat dipindah tangankan (undevoluable usufruct atau circulating usufruct system).  Pendapat ini dikritik oleh Mering (1989), seorang antropolog putra daerah, yang mengemukakan bahwa corak penguasaan orang Dayak Kayan mengenal perbedaan hak milik individu dengan hak milik bersama (communal).  Sistem hak milik itu sendiri dapat dipindah tangankan atau devoluable usufruct system, dengan cara diwariskan, diperjual belikan, dihibahkan, atau dipertukarkan.      

Hasil penelitian Jamal et al. (2001) mengemukakan bahwa hak masyarakat atas tanah menurut adat Dayak dikenal sebagai “ hak milik adat turun temurun” yang mencakup: hak mengelola dan mengusahakan segala sesuatu baik yang terdapat di dalam maupun di atasnya.  Adat mengakui kepemilikan tanah adat yang terdiri dari : (1) Kepemilikan seko manyeko atau kepemilikan perseorangan, (2)  Kepemilikan perene’ant, yaitu tanah warisan yang dengan segala isinya menjadi milik dari beberapa keluarga dalam satu garis keturunan, (3) Kepemilikan Saradangan, merupakan kepemilikan tanah dengan segala isinya oleh suatu kampung, serta (4) Kepemilikan Binua, adalah kepemilikan tanah dengan segala isinya oleh beberapa kampung satuan wilayah hukum adat (Ketemanggungan).

Masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Barat umumnya telah mempunyai mekanisme pendistribusian penguasaan lahan yang cukup bagus.  Hanya saja, sistem ini biasanya hanya sesuai untuk komunitas yang bersangkutan dan bersifat terbatas.  Sistem ini umumnya mengikuti jalur sistem kekerabatan hingga 3 turunan dan bersifat relatif tertutup. 

******

Janji dan bukti Landreform era Reformasi


v Presiden Abdurahman Wahid pernah menyatakan bahwa 40 persen dari tanah-tanah perkebunan itu seharusnya didistribusikan kepada rakyat. Maka, berbondong-bondongnya rakyat menduduki tanah-tanah yang dibiarkan terbengkalai oleh pemiliknya. Ada banyak tanah PTP dan Perhutani yang diaptokin petani.

v Tahun 2007 pemerintah melansir “Program Pembaruan Agraria Nasional” dengan target mendistribusikan tanah 8-9 juta ha lahan pemerintah kepada masyarakat.

v Tahun 2010, pemerintah melakukan penertiban tanah terlantar yang jumlahnya mencapai lebih dari 7 juta ha.

v Presiden SBY tiga kali menyampaikan pidato penting mengenai agraria, yaitu tahun 2007, lalu 15 Januari 2010, dan terakir pidato di Istana Bogor  21 Oktober 2010.

v Dalam jumlah yang sangat terbatas, presiden membagi-bagikan sertifikat tanah kepada petani yang dilakukan secara simbolik di Istana Bogor, 21 Oktober 2010.  Secara nasional, total tanah milik negara yang hak kepemilikannya diserahkan kepada petani mencapai 142.159 hektar yang dilakukan serempak pada 389 desa di 21 propinsi.

v Sebagai contoh, redistribusi lahan di lapangan Desa Kutasari, Cipari, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, 23 oktober 2010; ada sebanyak 291 hektar lahan dibagikan kepada 5.141 petani. Tiap petani mendapat masing-masing 500 meter persegi.

v Di Batang, melalui pendampingan pegiat landreform Omah Tani Kabupaten dan BPN, berlangsung distribusi tanah 32,7 ha kepada 144 keluarga di Desa Kuripan, Kecamatan Subah. Namun, ini bukan sebuah reforma agraria, tapi bentuk menyelesaikan “masalah biasa” yang sudah ada di depan meja BPN karena ada pengaduan dari masyarakat. Tanah yang diredistribusikan kepada petani itu tanah negara yang digarap masyarakat dan disertifikatkan BPN. Tanah yang dibagi ini adalah tanah sisa dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 Tahun 1961 tentang Redistribusi Tanah seluas 1,6 juta hektare.

v Pada bulan Agustus 2010, BPN menyatakan  akan membagi-bagikan 6 juta hektar tanah ke masyarakat. Namun, program ini masih menunggu selesainya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Reforma Agraria. Dengan RPP Reforma Agraria, nantinya diharapkan luas tanah yang dibagikan berkisar 2,8-3,5 juta hektare dan ditargetkan selesai pada 2025.

******

Petani seumur-umur jadi tukang sewa


Petani Menyewa ”Tanah Pemerintah” pada era Pemerintahan Kolonial

Dua kebijakan pokok yang dirasakan sangat berpengaruh besar - bahkan hingga saat ini - pada masa pemerintahan kolonial, adalah pengenaan pajak tanah dan mulai berlakunya sistem penyewaan tanah dalam jangka panjang (25 –30 tahun) yang dikenal dengan erfpacht atau tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU). Pemerintah kolonial bekerjasama dengan golongan elit feodal (para bupati). Pajak tanah dimulai ketika masa Gubernur Jenderal Raffles. Saat itu, seluruh tanah dianggap sebagai tanah desa, sehingga pemerintah desa menarik pajak tanah berupa natura dari penduduk.

   Lalu, pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang Agararia tahun 1870 (Agrarische Wet). Peraturan ini bersifat dualistis, dimana bagi orang asing berlaku hukum Barat, sedangkan bagi rakyat Indonesia berlaku hukum adat. UU ini menjamin kepemilikan pribumi atas hak-hak adat, serta memungkinkan penduduk untuk mendapatkan hak pribadi. Mulai saat itu, dimungkinkan untuk memiliki mutlak (hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Tujuan untuk melindungi dan memperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli, ternyata jauh dari harapan (Wiradi, 2000). Apalagi ditambah sikap para raja dan sultan baik di Jawa maupun di Luar Jawa yang lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing, dibanding memberikannya ke warga sendiri. Konflik pertanahan antara pihak swasta yang didukung pemerintah dengan masyarakat sudah mulai terjadi.

   Era berikutnya, dengan asumsi bahwa tanah adalah milik Belanda, pemerintah melakukan kebijakan sistem sewa tanah kepada petani (Fauzi, 1999: 28). Sistem sewa ini pada dasarnya agar dapat memberikan  kebebasan dan kepastian hukum serta merangsang untuk menanam tanaman dagang kepada petani, bukan benar-benar memberikan penguasaan lahan yang riel kepada petani.

   Jadi, dengan pola penguasaan disewa atau dengan pajak, masih bersifat sepihak yaitu untuk kepentingan diri Belanda belaka. Di era kerajaan maupun Belanda, kondisinya masih sama, petani tetaplah seorang penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasilnya kepada pihak penguasa.

   Secara ringkas, sebagaimana dikatakan Husken (1998), pemilik tanah yang jumlahnya sedikit namun menguasai tanah sangat luas dan berkuasa mengatur proses produksi. Mereka memiliki akses kuat ke dunia politik dan menguasai tanah sawah dan pengatur tenaga kerja, sementara para petani sesungguhnya, yang mengolah tanah, memelihara tanaman, mengatur air, dan memanennya;  hanyalah pengikut yang powerless. Saat ini masih dapat dijumpai di Jawa beberapa orang dalam satu jaringan keluarga besar yang memiliki tanah sawah luas, terutama pada lokasi basis tebu di Jawa Tengah dan Timur.

******

Kepemilikan petani pada lahan hanya semu


Pada era kerajaan, secara prinsip tanah (dan rakyat) adalah “milik raja”. Karena itu, setiap hasil dari tanah mesti disisihkan untuk raja, yang nilainya tergantung kepada luas dan hasil yang diperoleh. Akibatnya, petani kurang terdorong untuk mengoptimalkan surplus produksi, karena surplus tersebut tidak dapat dinikmati petani secara penuh, namun mengalir ke keluarga raja dan birokrasi keraton.

   Struktur penguasaan tanah yang berlangsung merepresentasikan struktur sosial masyarakat di pedesaan. Pada masa abad 18 dan awal 19, secara umum di Jawa dikenal 3 kelas penguasaan tanah , yaitu: (1) Kelompok petani tuna-kisma yang kadangkala berlindung pada keluarga-keluarga petani yang memiliki tanah, namun juga sering merupakan tenaga kerja musiman yang tidak terikat dan cukup mobil. (2) Kelompok petani (sikep atau kuli) yang memiliki hak atas tanah, dan untuk hak tersebut berkewajiban membayar pajak dan upeti yang besar jumlahnya kepada pihak kerajaan. (3) Kelas pamong desa yang selain menguasai tanah pribadi, juga berhak menguasai sejumlah besar tanah desa sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan (lungguh dan tanah bengkok), ditambah lagi hak memperkejakan sikep atau kuli untuk mengarap tanah mereka tersebut tanpa harus membayar upah.

Penelitian Breman (1986) di Cirebon menemukan struktur yang hampir serupa, dimana ada empat lapisan dalam masyarakat desa, yaitu: penguasa desa dan orang-orang penting lokal yang tidak pernah menggarap tanah secara langsung namun mendapat hak apanage atau lungguh dari raja, masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti masyarakat, para wuwungan (=penumpang) atau tuna kisma yang hidup sebagai buruh tani dan membangun rumah di pekarangan sikep karena tidak punya tanah sendiri, serta para bujang yaitu mereka yang belum keluarga.

   Pada masa itu konsep kepemilikan menurut konsep Barat (property atau eigendom) memang tidak dikenal (Wiradi, 2000). Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya dimiliki pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teroitis punya hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku.

Tentang pola penguasaan tanah pada saat ini, ada perdebatan, apakah pemilikan tanah berbentuk hak komunal atau individual. Namun menurut van de Kroef (1984), terdapat beragam bentuk penguasaan antar daerah di Jawa, dimana penguasan individual dan juga kolektif ada pada satu daerah secara bersamaan. Pola penguasaan tanah cenderung berada di antara dua kutub yang berlawanan, yaitu pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat, dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Disamping itu, juga ada tanah “individual”, yaitu sebidang tanah yang dapat dikuasai selama-lamanya oleh satu keluarga, dapat melimpahkan ke ahli warisnya, walau pengalihan ke luar desa tidak diperbolehkan.

   Bentuk tradisional yang paling umum adalah hak penguasaan secara komunal semua tanah, baik yang dapat ditanami maupun sebagai cadangan, yang seluruhnya berada di bawah pengawasan desa, dimana petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Hal ini sama kondisinya dengan pengaturan penggunaan pemakaian tanah adat oleh dewan “doumtuatua” di Bima (Brewer, 1985).

*****
 

Landreform terbatas pada era Orde Lama


Masa Orde Lama, yaitu mulai dari kemerdekaan sampai dengan tahun 1966, merupakan masa tumbuhnya kebijakan agraria yang idealis. Pada masa ini berhasil dihasilkan suatu produk hukum yang sangat fundamental yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) no. 5 tahun 1960. Selain itu juga berhasil disusun dan diundangkan UU no. 56 tahun 1960 tentang landreform, serta UU no. 2 tahun 1960 tentang Bagi Hasil untuk pertanian dan UU 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil pada usaha perikanan laut. Dengan lahirnya UUPA, artinya pemerintah memberi perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan.

Kegiatan landreform yang ideal pernah berjalan setelah kelahiran UUPA ini, namun kemudian gagal karena ditunggangi oleh muatan politik (Partai Komunis Indonesia). Landreform, dalam arti redistribusi tanah, mulai dilaksanakan sekitar tahun 1961, dan marak sampai tahun 1965. Setelah itu, landreform tetap berjalan namun dalam kecepatan dan luas yang sangat lambat.

Meskipun demikian, sampai dengan tahun 2000, setidak-tidaknya sebanyak 840.227 hektar tanah obyek landreform sudah didistribusikan kepada 1,328 juta lebih keluarga petani yang tersebar di seluruh Indonesia (sumber: Deputi bidang Tata Laksana Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN), dalam seminar Rethinking Landreform in Indonesia. BPN, Land Law Initiative dan Rural Development Institute, dan United States Agency for International Development (USAID). Jakarta).

Pelaksanaan landreform di Indonesia mengalami stagnasi, tersendat-sendat, dan tidak tuntas. Hambatan utama pelaksanaan landreform adalah lemahnya kemauan politik dari pemerintahan Orde Baru yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Program landreform dimulai setelah keluarnya seperangkat peraturan perundang-undangan landreform, seperti Undang-Undang No 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir, UU No 2/1960 tentang Bagi Hasil, UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan Pemerintah (PP) No 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, serta perangkat peraturan lainnya. Penyebab utama kegagalan landreform adalah karena rendahnya kemauan dan dukungan politik, tidak tersedianya biaya, data dan informasi, serta lain sebagainya.

Pada periode 1945—1960  tumbuh semangat untuk menata-ulang masalah pemilikan, penguasaaan dan penggunaan tanah. Dilaksanakan uji coba landreform dengan skala terbatas. Berdasar UU No. 13/1946, dilangsungkan landreform di daerah Banyumas, serta UU Darurat No. 13/1948 untuk landreform di daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta. Pada periode ini dihadapi situasi yang dilematis. Di satu pihak, gagasan awalnya bahwa proyek utama reform itu adalah tanah-tanah perkebunan dengan hak erfpacht , tanah-tanah absentee, bekas tanah-tanah partikelir, dan tanah-tanah terlantar. Tapi, sesuai perjanjian KMB, rakyat harus dikeluarkan dari tanah-tanah perkebunan milik modal swasta Belanda.  Tahun 1957 akhirnya Indonesia membatalkan perjanjian KMB, dan tahun 1958 dilangsungkan proses nasionalisasi perkebunan-perkebunan besar milik asing, serta melalui UU No. 1/1958 menghapuskan tanah-tanah partikelir.

Pada periode demokrasi terpimpin (1960—1965), tidak banyak kemajuan. Sukarno menerapkan kebijakan agraria (neo) populis, dimana land reform dijalankan melalui ”Paket UU Landreform”. Dalam operasionalisasinya digunakan PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Distribusi dan Ganti Rugi Tanah, PP No.10/1961 tentang Pendaftaran Tanah, serta UU No.21/1964 Pengadilan Landreform.

*****

Landreform awal


Land Reform” pertama di dunia terjadi di era Yunani Kuno, 594 tahun Sebelum Masehi. Sedangkan slogan land-to-the-tillers (tanah untuk penggarap), sudah berkumandang 565 tahun Sebelum Masehi.

Lalu, land reform di jaman Romawi Kuno adalah pada 134 tahun SM.

Berikutnya, berlangsung gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak biri-biri di Inggris, selama lebih kurang 5 abad, dan Revolusi Perancis (1789 – 1799). Sejak itu hampir semua negara-negara di Eropa melakukan “land reform”.

Setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan agraria dilakukan secara meluas mencakup wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

********

Tanah yang Tersedia untuk Pertanian

       

Secara umum, data yang dipublikasikan tentang ketersediaan tanah serta yang telah digunakan saat ini tidak akurat dan tidak konsisten. Demikian pula dengan data tentang potensi tanah yang dapat menjadi areal untuk pertanian.
Menurut data di Badan Pertanhan Nasional (Kepala BPN, 2001), berdasarkan zone ekonomi eksklusif, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini sebagian terbesar yaitu 609 juta ha (76%) merupakan perairan dan sisanya 191 juta ha (24%) berupa daratan. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas daratan Indonesia lebih rendah sedikit dari itu, yaitu hanya 188,2 juta ha.

Dalam konteks usaha budidaya, maka salah satu aspek yang harus dijadikan landasan adalah batasan minimal yang harus tetap menjadi areal konservasi, untuk menjaga daya dukung lahan dan prinisp sustainabilitas ekosistem pada umumnya. Maka, sesuai dengan kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) harus digunakan sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 123 juta ha (65%) dapat digunakan untuk areal budidaya (Tabel 1). Sesuai dengan fungsinya dan kepatutan penggunaannya, maka kawasan lindung mestilah berupa hutan, sedangkan kawasan budidaya dapat digunakan untuk penggunaan non-hutan, yaitu untuk pertanian dan non-pertanian (perumahan, industri, dan lain-lain).
Namun, hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukkan bahwa kawasan lindung yang seharusnya berupa hutan tidak seluruhnya berupa hutan. Dari 67 juta ha kawasan lindung, 12 juta ha (18%) telah digunakan berupa bukan hutan terutama di Wilayah Jawa dan Bali. Sebaliknya pada kawasan budidaya, 71 juta ha (58%) masih berupa hutan, terutama di wilayah Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Wilayah inilah yang dapat dijadikan areal pertanian.

Tabel  1.   Neraca Penggunaan Tanah di Indonesia, Tahun 2001

 
 
Wilayah

Tata ruang

 
Jumlah
(ha)

Penggunaan Tanah (ha)

Kaw. Budidaya
Kaw. Lindung
 
Kaw Budidaya
Kaw Lindung
Hutan
Non hutan
Hutan
Non hutan
Sumatera
30,4
16,9
47,3
15,8
14,6
11,0
5,9
Jawa dan bali
10,9
2,4
13,3
1,6
9,3
1,1
1,3
Kalimantan
38,8
15,0
53,8
27,4
11,4
13,1
1,9
Sulawesi
11,1
8,5
19,6
4,9
6,2
7,7
0,8
Nusa tenggara dan maluku
8,7
6,6
15,3
4,8
3,9
5,4
1,239.280
Irian jaya
23,6
17,9
41,5
16,8
6,8
16,7
1,2
Jumlah
123,4
67,5
190,9
71,3
52,2
55,0
12,4
Persentase
64,65
35,35
 
57,74
42,26
81,56
18,44

Sumber: Kepala BPN (2001)

Salah satu informasi dasar yang dibutuhkan untuk pengembangan pertanian adalah data spasial (peta) potensi sumberdaya lahan, yang memberikan informasi penting tentang distribusi, luasan, tingkat kesesuaian lahan, faktor pembatas, dan alternatif teknologi yang dapat diterapkan. Namun, hingga saat ini, informasi sumberdaya lahan tersebut belum tersedia secara menyeluruh pada skala yang memadai. Sebagai contoh, informasi sumberdaya lahan yang tersedia di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) Badan Litbang Pertanian hanya peta pada skala eksplorasi (1:1.000.000), sedangkan data/peta pada skala tinjau (1:250.000) baru sekitar 57 persen dari total wilayah Indonesia, dan peta pada skala semi detil hingga detil (1:50.000 atau lebih besar) hanya sekitar 13 persen dari total wilayah. Peta pada skala eksplorasi (1:1.000.000) hanya sesuai digunakan sebagai acuan untuk perencanaan atau arahan pengembangan komoditas secara nasional. Sedangkan untuk tujuan operasional pengembangan pertanian di tingkat kabupaten/kecamatan, diperlukan peta sumberdaya lahan pada skala 1:50.000 atau lebih besar.

Berbeda dengan data BPN, menurut Puslitbangtanak (2002), berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk pertanian bukan 123,4 namun hanya seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif sama dengan dokuemn RPPK, dimana luas lahan yang dapat dijadikan pertanian adalah seluas 100,8 juta ha.

Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman semusim; dan 50,9 juta ha sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Jika dihubungkan dengan kebutuhan lahan sawah untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha sudah memadai untuk berswasembada, karena yang diperlukan lebih kurang hanya 10 juta ha, apalagi jika teknologi usahatani dapat diperbaiki.
Untuk kondisi penggunaan atau tata guna lahan saat ini, ditemui data yang beragam. Menurut Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha lahan yang sesuai untuk lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya sudah digunakan untuk lahan sawah. Namun karena adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku saat tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha.

Data lebih jauh pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa total areal pertanian di Indonesia saat ini adalah 36,3 juta ha, mencakup mulai dari sawah, tegalan, pekarangan, maupun perkebunan (rakyat dan swasta besar). Jika disandingkan dengan kawasan yang dapat dijadikan sebagai pertanian (123,4 juta ha), maka masih ada 87,1 juta ha yang areal yang saat ini belum dijadikan wilayah pertanian.

Tabel 2. Komposisi tata guna tanah di Indonesia, tahun 2001 (dalam juta ha).

Wilayah
Luas Sawah1)
Luas lahan kering1)
Total areal pertanian
Kawasan yang dapat untuk pertanian
 
Areal yang tersisa untuk pertanian
Sumatera
2,3
12,9
15,2
30,4
15,2
Jawa dan bali
3,4
4,3
7,7
10,9
3,2
Kalimantan
1,0
3,6
4,6
38,8
34,2
Sulawesi
0,7
2,9
3,6
11,1
7,5
Nusa tenggara dan maluku
0,3
1,9
2,2
8,7
6,5
Irian jaya
0,02
3,0
3,02
23,6
20,58
Indonesia
7,8
28,5
36,3
123,4
87,1

Keterangan: 1) bersumber dari Rekapitulasi dari Kantor BPN se Indonesia (BPN, 2001)
      
Menurut sebagian kalangan, ada potensi sekitar 16 juta ha lahan yang sesuai untuk sawah,  yang terdiri dari 3,5 juta ha lahan rawa dan 12,5 juta ha lahan non rawa. Lahan non rawa yang berpotensi dijadikan sawah tersebar di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Di pulau Jawa, lahan yang sesuai tersebut kebanyakan sudah digunakan untuk keperluan lain sehingga hampir tidak mungkin melakukan ekstensifikasi sawah di pulau Jawa. Sementara menurut Puslitbangtanak (2002), luas lahan yang sesuai untuk perluasan lahan sawah (berdasarkan peta skala 1:1.000.000) tersedia sekitar 16 juta ha, dengan sebaran paling luas di Papua, Sumatra, dan Kalimantan. Pada umumnya lahan basah tersebut merupakan lahan rawa (pasang surut dan lebak).

Lebih jauh dalam dokumen RPPK terbaca, bahwa lahan yang potensial untuk perluasan areal tanaman pangan  sudah tidak tersedia (potensi ekstensifikasi negatif), karena sudah digunakan untuk tegalan, perkebunan, dan sebagian lagi berupa lahan terlantar. Dengan demikian, pengembangan areal tanaman pangan hanya dapat dilakukan pada lahan terlantar. Lahan yang secara bio-fisik sesuai untuk perluasan tanaman tahunan (buah-buahan, dan tanaman perkebunan) masih cukup luas (25 juta ha). Lahan ini dapat dimanfaatkan untuk areal perkebunan rakyat mislanya untuk komoditas kakao (Sulsel, Sulteng, Sultra), kelapa sawit (Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan, Papua), dan buah-buahan tropika. Sebagian lahan yang berpotensi untuk tanaman tahunan tersebut berstatus tanah negara.
Dalam dokumen tersebut juga didapati bahwa kita masih memiliki potensi lahan untuk pertanian sebesar 100,8 juta hektar. Dari luasan ini, telah dimanfaatkan 68,8 juta hektar, sehingga lahan yang belum dimanfaatkan sekitar 32 juta hektar. Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar serta pekarangan 5,4 juta hektar.       

Khusus untuk Jawa, pemanfaatan lahan sudah melampui ketersediaannya (over utilization). Selain over utilization, lahan di Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian dengan laju yang makin tinggi. Pada periode tahun 1981-1999 terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.627.514 hektar; dan sekitar 1 juta hektar di antaranya terjadi di Jawa. Karena tingkat kesuburan lahan di Jawa jauh lebih tinggi dibanding di luar Jawa dan kondisi infrastruktur yang juga lebih mapan, maka dalam jangka panjang lahan-lahan produktif di Jawa seperti lahan sawah tetap perlu dipertahankan sebagai lahan pertanian.

Kondisi lahan di Jawa semakin memprihatinkan karena penguasaan lahan oleh petani yang sempit tidak mampu mencapai skala usaha yang ekonomis, sehingga usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Luas areal yang masih berupa hutan di Jawa saat ini hanya bersisa 3,3 juta ha. Di sisi lain, terdapat lahan kritis yang sangat memprihatinkan, yaitu 10,7 juta ha atau 84,2 persen dari luas wilayahnya (Kompas, 2003).
Salah satu potensi yang sampat saat ini kurang diperhatikan adalah keberadaan lahan rawa. Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia lebih dari 33,4 juta ha, yang tersebar dibanyak propinsi, namun yang terbesar ada di wilayah Kalimantan (8,13 juta ha), Sumatera (6,6 juta ha), Papua (4,2 juta ha), dan Sulawesi (1,2 juta ha). Dengan teknologi yang ada, petani telah mampu menghasilkan 3-4 ton padi per ha. Namun dengan peningkatan teknologi, yaitu pada skala penelitian, telah mampu dihasilkan 7-8 ton gabah per ha. Selain untuk padi sawah, lahan rawa  juga sesuai untuk palawija yaitu jagung dan kedelai.

******