Pola Asal-Usul Petani
Menguasai Tanah
Pola bagaimana petani
memperoleh lahan, dapat memperjelas mengapa petani rendah aksesnya
terhadap lahan sampai saat ini.
Di pedesaan Jawa, perolehan lahan dapat dibagi
dalam empat bentuk yang antar lokasi mempunyai sebutan yang berbeda. Pertama, tanah pemberian raja atau Pemerintah Hindia Belanda.Tanah
ini di Jawa Barat disebut dengan “tanah cacah” atau “tanah sikep”, di Klaten
disebut “tanah sanggan”, dan di Jawa Timur disebut “tanah gogolan”. Di beberapa
tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada yang menyebutnya “tanah norowito”.
Tanah jenis ini adalah tanah pemberian dari raja atau Pemerintah Hindia Belanda
kepada warga masyarakat yang memiliki tenaga kerja laki-laki dengan kewajiban
melaksanakan lakon gawe (Jawa Barat) atau songgo gawe (Klaten dan daerah Jawa
Tengah dan Jawa Timur), seperti gotong-royong, piket desa, menjaga keamanan
desa (meronda), membayar pajak yang lebih besar dan berbagai iuran desa dan
keagamaan.
Dua, tanah hasil pembukaan hutan oleh nenek moyang, atau oleh
suatu komunitas dan keluarga. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut sebagai
“tanah yasan”, sedangkan di Jawa Barat disebut “tanah iyasa”.
Tiga, tanah titisara (bondo
desa), yaitu tanah yang menjadi kekayaan atau kas desa yang biasanya
digarapkan pada anggota warga masyarakat yang kurang mampu dan sebagian
penghasilannya masuk sebagai kas desa.
Pelaksanaan akhir-akhir ini di pedesaan Jawa dilaksanakan dengan cara
dilelang, siapa yang berani menyewa dengan harga tertinggi merekalah yang
berhak menggarap.
Terakhir, empat, Tanah bengkok atau lungguh untuk pamong yang sedang
menjabat dan untuk biaya operasional pemerintahan desa. Setelah diberlakukannya
UUPA, status tanah cacah dan iyasa dirubah menjadi hak milik perseorangan
melalui SK Gubernur, yang efektif pada periode tahun 1970-an. Sejak periode tersebut tanah cacah,
songgogawe, gogolan, norowito dan sikep
dapat diperjual-belikan dan diwariskan kepada ahli warisnya.
Di Luar Jawa,
secara umum asal usul penguasaan lahan merupakan hasil bukaan hutan. Pada awalnya, membuka hutan dilakukan secara
berkelompok bahkan keanggotannya bisa merupakan kelompok kesukuan, kelompok
kekerabatan, maupun kelompok keluarga besar.
Baru pada tahap selanjutnya pembukaan bisa dilakukan secara kelompok kekerabatan kecil, kelompok keluarga
kecil, maupun individu. Pembukaan hutan
secara bertahap dan berkelompok tersebut memunculkan adanya berbagai macam
kepemilikan lahan sebagaimana ditemukan di daerah Sumatera Barat dan Dayak yang
memunculkan tanah ulayat secara bertingkat (Jamal et al., 2001).
Khusus di DI Yogyakarta, dalam penelitian Jamal
et al. (2001), penguasaan lahan oleh petani dimulai dengan program klassering (classering) yang dimulai tahun 1921 yang merupakan
peristiwa penyerahan tanah “ kagungan
dalem” kepada rakyat, atau
meningkatkan status hak atas tanah kepada rakyat dari penggarap menjadi tanah
yang berstatus “ anganggo turun-temurun”. Peristiwa ini kemudian diperkuat dengan Perda
No.5 Tahun 1954, di mana Sultan menyerahkan tanahnya kepada rakyat sehingga
menjadi tanah milik privat. Klasering
secara teoritis merupakan suatu riel land reform, karena
distribusi tanah kepada petani didasarkan prinsip “ land tillers”. Pendistribusian
tanah hanya ditujukan bagi petani penggarap dan pemilikan hanya sebatas yang
mampu digarap oleh anggota keluarga yang bersangkutan, yang sangat terkait
dengan aspek penataan lahan yaitu bagaimana lahan tersebut dapat dimanmaatkan
secara optimal.
Contoh lain, di komunitas
suku Dayak, penelitian Rousseou (1977), seorang antropolog Canada,
menyatakan bahwa corak penguasaan lahan orang Dayak Kanayan
tidak mengenal hak milik individu yang dapat dipindah tangankan (undevoluable usufruct atau circulating usufruct system). Pendapat ini dikritik oleh Mering (1989),
seorang antropolog putra daerah, yang mengemukakan bahwa corak penguasaan orang
Dayak Kayan mengenal perbedaan hak milik individu dengan hak milik bersama (communal). Sistem hak milik itu sendiri dapat dipindah
tangankan atau devoluable usufruct system,
dengan cara diwariskan, diperjual belikan, dihibahkan, atau dipertukarkan.
Hasil
penelitian Jamal et al. (2001)
mengemukakan bahwa hak masyarakat atas tanah menurut adat Dayak dikenal sebagai
“ hak milik adat turun temurun” yang mencakup: hak mengelola dan mengusahakan
segala sesuatu baik yang terdapat di dalam maupun di atasnya. Adat mengakui kepemilikan tanah adat yang
terdiri dari : (1) Kepemilikan seko
manyeko atau kepemilikan perseorangan, (2)
Kepemilikan perene’ant, yaitu
tanah warisan yang dengan segala isinya menjadi milik dari beberapa keluarga
dalam satu garis keturunan, (3) Kepemilikan Saradangan,
merupakan kepemilikan tanah dengan segala isinya oleh suatu kampung, serta (4)
Kepemilikan Binua, adalah kepemilikan
tanah dengan segala isinya oleh beberapa kampung satuan wilayah hukum adat (Ketemanggungan).
Masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Barat umumnya
telah mempunyai mekanisme pendistribusian penguasaan lahan yang cukup
bagus. Hanya saja, sistem ini biasanya
hanya sesuai untuk komunitas yang bersangkutan dan bersifat terbatas. Sistem ini umumnya mengikuti jalur sistem
kekerabatan hingga 3 turunan dan bersifat relatif tertutup.
******