Kepemilikan petani pada lahan hanya semu


Pada era kerajaan, secara prinsip tanah (dan rakyat) adalah “milik raja”. Karena itu, setiap hasil dari tanah mesti disisihkan untuk raja, yang nilainya tergantung kepada luas dan hasil yang diperoleh. Akibatnya, petani kurang terdorong untuk mengoptimalkan surplus produksi, karena surplus tersebut tidak dapat dinikmati petani secara penuh, namun mengalir ke keluarga raja dan birokrasi keraton.

   Struktur penguasaan tanah yang berlangsung merepresentasikan struktur sosial masyarakat di pedesaan. Pada masa abad 18 dan awal 19, secara umum di Jawa dikenal 3 kelas penguasaan tanah , yaitu: (1) Kelompok petani tuna-kisma yang kadangkala berlindung pada keluarga-keluarga petani yang memiliki tanah, namun juga sering merupakan tenaga kerja musiman yang tidak terikat dan cukup mobil. (2) Kelompok petani (sikep atau kuli) yang memiliki hak atas tanah, dan untuk hak tersebut berkewajiban membayar pajak dan upeti yang besar jumlahnya kepada pihak kerajaan. (3) Kelas pamong desa yang selain menguasai tanah pribadi, juga berhak menguasai sejumlah besar tanah desa sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan (lungguh dan tanah bengkok), ditambah lagi hak memperkejakan sikep atau kuli untuk mengarap tanah mereka tersebut tanpa harus membayar upah.

Penelitian Breman (1986) di Cirebon menemukan struktur yang hampir serupa, dimana ada empat lapisan dalam masyarakat desa, yaitu: penguasa desa dan orang-orang penting lokal yang tidak pernah menggarap tanah secara langsung namun mendapat hak apanage atau lungguh dari raja, masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti masyarakat, para wuwungan (=penumpang) atau tuna kisma yang hidup sebagai buruh tani dan membangun rumah di pekarangan sikep karena tidak punya tanah sendiri, serta para bujang yaitu mereka yang belum keluarga.

   Pada masa itu konsep kepemilikan menurut konsep Barat (property atau eigendom) memang tidak dikenal (Wiradi, 2000). Karena itu tanah-tanah tersebut bukannya dimiliki pejabat-pejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teroitis punya hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil-hasil buminya sesuai dengan adat yang berlaku.

Tentang pola penguasaan tanah pada saat ini, ada perdebatan, apakah pemilikan tanah berbentuk hak komunal atau individual. Namun menurut van de Kroef (1984), terdapat beragam bentuk penguasaan antar daerah di Jawa, dimana penguasan individual dan juga kolektif ada pada satu daerah secara bersamaan. Pola penguasaan tanah cenderung berada di antara dua kutub yang berlawanan, yaitu pemilikan komunal yang kuat atau hak ulayat, dan pemilikan perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Disamping itu, juga ada tanah “individual”, yaitu sebidang tanah yang dapat dikuasai selama-lamanya oleh satu keluarga, dapat melimpahkan ke ahli warisnya, walau pengalihan ke luar desa tidak diperbolehkan.

   Bentuk tradisional yang paling umum adalah hak penguasaan secara komunal semua tanah, baik yang dapat ditanami maupun sebagai cadangan, yang seluruhnya berada di bawah pengawasan desa, dimana petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Hal ini sama kondisinya dengan pengaturan penggunaan pemakaian tanah adat oleh dewan “doumtuatua” di Bima (Brewer, 1985).

*****